Selasa, 06 Maret 2012

Mahzab Positivisme dalam Bebas Nilai Ilmu


                          Mahzab Positivisme dalam Bebas Nilai Ilmu


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Semester Tiga dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu Fakultas Tarbiyah Jurusan PGMI


Oleh:
Desi Nirmaya Sari
38105006



FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2011
 

KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat Allah SWT yang senantiasa menganuhgerahkan nikmat, taufik dan hidayah-Nya sehinggga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui
 Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Filsafat Ilmu  yang telah memberikan tugas ini kepada penulis, dan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini belum sempurna, maka dari itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang membangun untuk perbaikan kedepannya.
Semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita semua, khususnya kalangan mahasiswa.



                                                                                              Medan,  11 Januari 2012


                                                                                              Penulis
 
 
DAFTAR ISI

Kata Pengantar         ...........................................................................................          i
Daftar Isi                    ...........................................................................................         ii
BAB I    Pendahuluan
 1.1 Latar Belakang Masalah  ...............................................................................         1
1.2   Rumusan Masalah            ...............................................................................         1
1.3  Tujuan Penulis       ..........................................................................................          1
BAB II   Pembahasan
2.1 Pengertian Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan      ..........................................          2
            2.1.1  Tumbuhan  .....................................................................................          2
            2.1.2 Ciri-ciri Tumbuhan    ......................................................................           3
            2.1.3 Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan   ................................................          3
2.2 Metabolisme Tumbuhan      .........................................................................          14
            2.2.1 Proses Pernapasan Tumbuhan    ...................................................          14
            2.2.2 Fotosintesis   .................................................................................          19
2.3 Klasifikasi Tumbuhan    ..............................................................................          20
            2.3.1 Tumbuhan Tak Berpembuluh   ....................................................            20
            2.3.2 Tumbuhan Berpembuluh    ..........................................................           21
BAB III   Penutup
3.1  Kesimpulan                       ..................................................................       23
Daftar Pustaka                      ..............................................................................        24


 

BAB I
PEMBUKAAN
1.1             Latar Belakang Masalah
Sejarah manusia untuk menemukan pengetahuan yang benar, bergulir melalui proses dialektika, yang memperlihatkan proposisi dan postulat dengan derajat perbedaan yang sangat beragam, dari yang memperlihatkan perbedaan secara inkremental, hingga saling bertolak belakang secara diametral.
Para pemikir (rokhaniawan) di era Kebudayaan Yunani kuno, yang berupaya membangun “pengetahuan yang benar” berdasarkan konsep bios theoretikhos (dimana pengetahuan itu diyakini akan diperoleh melalui serangkaian ritus keagamaan), kemudian digantikan oleh konsep ontologi yang lahir sebagai upaya para filosof Yunani (Kelompok pemikir yang kemudian bermetamorfosis menjadi madzhab  positivisme yang lebih mengutamakan kekuatan dan kemampuan rasio dan pengamatan. Melalui pengandain-pengandaian keilmuan yang  mengikuti apa yang terdapat dalam ilmu-ilmu alam, kaum positivisme berupaya menuju pada pemurnian ilmu pengetahuan yang dilakukan melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni), dengan cara memisahkan secara tegas antara teori dengan praxis (pengetahuan dengan kepentingan).
1.2             Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.      Bagaimana perkembangan mahzab positivisme dalam perkembangan ilmu?
2.      Bagaimana hubungan Ilmu dengan Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi?

1.3             Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah ini adalah :
1.       Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu  di semester III.
  1. Untuk mengetahui perkembangan mahzab positivisme dan hubungannya dalam bebas nilai ilmu.

BAB II
PEMBAHASAN

2.1  Perkembangan  Madhzab Positivisme
Puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan terjadi dengan lahirnya madzhab positivisme yang dirintis oleh Auguste Comté.  Filsafat Comte adalah filsafat anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala (fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. “Savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir” (dari ilmu muncul prediksi, dan dari prediksi muncul aksi), semboyan inilah yang menjadi pamungkas semakin terpilah dan terpisahnya ilmu pengetahuan dari nilai, dan kemudian menempatkan positivisme sebagai pemenang dalam wacana pemikiran modern.  Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia[1].
Hal ini sejalan dengan Mach yang menyatakan bahwa pengetahuan yang sahih tentang kenyataan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara “menyalin fakta”[2], dan fakta adalah kenyataan yang dapat diraba atau diindra.  Maka prosedur yang dapat dbenarkan adalah prosedur ilmu-ilmu alam, sebab ilmuilmu alam itu objektif.  Dengan prosedur ini, pengetahun diperoleh dengan melakukan mimesis fakta.
Madzhab positivistime, sebagai salah satu aliran filsafat, telah berkembang dalam alur sejarahnya sendiri.  Madzhab pemikiran ini berkembang sebagai bagian dari upaya untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang benar, dengan cara memurnikan ilmu pengetahuan, yang dilakukan melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni).

2.2  Hubungan Mahzab Positivisme dengan Bebas Nilai Ilmu
Positivisme menjadi lokomotif penggerak sejarah pemikiran barat modern, setelah ambruknya tatanan dunia dan nilai-nilai masyarakat abad pertengahan. Tawaran baru dari positivisme adalah tentang metode ilmu pengetahuan, yang sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatannya. Bila dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivistisme pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak renaissance, dan subur pada masa Aufklärung adalah metode ilmu-ilmu alam. Oleh karena Puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan terjadi dengan lahirnya madzhab positivisme yang dirintis oleh Auguste Comté.  Filsafat Comte adalah filsafat anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala (fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat kenyataan yang tidak mempunyai arti faktual sama sekali. “Savoir pour prevoir, prevoir pour pouvoir” (dari ilmu muncul prediksi, dan dari prediksi muncul aksi), semboyan inilah yang menjadi pamungkas semakin terpilah dan terpisahnya ilmu pengetahuan dari nilai, dan kemudian menempatkan positivisme sebagai pemenang dalam wacana pemikiran modern.  Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual tersebut sehingga ia dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa depan. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan konsep-konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran manusia[3].
Positivisme menjadi lokomotif penggerak sejarah pemikiran barat modern, setelah ambruknya tatanan dunia dan nilai-nilai masyarakat abad pertengahan. Tawaran baru dari positivisme adalah tentang metode ilmu pengetahuan, yang sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi filsafatannya. Bila dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih direfleksikan, dalam positivistisme pengetahuan diganti metodologi, dan satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak renaissance, dan subur pada masa Aufklärung adalah metode ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang dulunya menjadi refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang kenyataan.
Madzhab positivisme, dibangun dengan (salah satu) asumsi bahwa, pengetahuan haruslah bebas nilai. Hal ini diperlukan, agar para ilmuwan dapat memperoleh teori murni. Bila ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu pengetahuan, maka ia harus menghasilkan hukum-hukum umum, dan prediksi-prediksi ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu alam.  Untuk mencapai tujuan itu, riset sosial harus menghasilkan deskripsi dan eksplanasi ilmiah yang tidak memihak, serta tidak memberi penilaian apa pun.  Oleh karena itu, dalam mendekati objek yang diteliti, ilmuwan sosial harus mampu melepaskan perasaan, harapan, keinginan, anggapan, penilaian moralnya, sehingga ia memperoleh pengetahuan objektif tentang kenyataan sosial atau “fakta sosial”.
Klaim adanya kebebasan nilai dalam ilmu pengetahuan sebagaimana ditawarkan para pendukung madzhab positivisme tersebut, di tahap akhir perkembangaannya ternyata telah menyebabkan terjadinya krisis, tidak saja krisis dalam pengetahuan, akan tetapi juga krisis dalam masyarakat[4].
Sejalan dengan itu, kritik-kritik dari berbagai aliran pemikiran lain pun mulai muncul dan berkembang, baik yang ditujukan untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam pemikiran positivisme, maupun yang bermaksud menggantikannya dengan alternatif lain.  Salah satu aliran yang banyak melakukan kritik adalah para pemikir yang tergabung dalam madzhab Frankfurt (Atau dikenal juga dengan istilah Marxisme kritis atau Neo-Marxisme)[5]. Meskipun terdapat perbedaan pandangan diantara para pendukung madzhab Frankrut, di dalam mengembangkan teori kritis ini, akan tetapi mereka semua pada dasarnya memiliki tujuan yang sama, yaitu berupaya mengaitkan rasio dan kehendak, riset dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praxis
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bebas nilai merupakan salah satu tema yang terus diperdebatkan dalam filsafat ilmu. Bila diawal perkembangannya, terdapat hubungan yang erat antara teori dan praxis (mempertautkan pengetahuan dan kepentingan), paham ini kemudian secara perlahan mulai tergeser, dengan munculnya kajian-kajian dari perspektif filsafat yang mendasarkan dirinya pada rasionalitas dan empirisme.
Madzhab positvistik yang dipandang sebagai motor penggerak gerakan baru ini, berupaya membangun pemurnian ilmu pengetahuan melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni), dengan cara memisahkan secara tegas antara teori dengan praxis (pengetahuan dengan kepentingan).
Perkembangan madzhab positivisme ini, pada akhirnya tidak dapat secara terus menerus mempertahankan hegemoninya. Gugatan-gugatan terhadap eksistensi madzhab positivisme pun mulai terdengar dari para pemikir yang berasal madzhab Frankfurt (yang kemudian lebih dikenal sebagai pemikiran dari aliran ilmu-ilmu kritis/ teori kritis) yang mengehendaki agar teori tidak dipisahkan dari praxis sehari-hari

Daftar Pustaka

A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981
F. Budiman Hardiman, Kritik Ideologi : Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, Jakarta: Pustaka Utama, 1998
 Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1992
Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996



[1] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1992, hal. 54-55.
[2] F. Budiman Hardiman, Kritik Ideologi : Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, hal. 142.


[3] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat Modern, hal. 54-55.

[4]  A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, hal. 65
[5]Louis O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, hal. 116