Mahzab Positivisme
dalam Bebas Nilai Ilmu
Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi
Tugas Semester Tiga dalam Mata Kuliah Filsafat Ilmu Fakultas Tarbiyah Jurusan
PGMI
Oleh:
Desi
Nirmaya Sari
38105006
FAKULTAS TARBIYAH
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI
SUMATERA UTARA
2011
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis persembahkan kehadirat
Allah SWT yang senantiasa menganuhgerahkan nikmat, taufik dan hidayah-Nya
sehinggga makalah ini dapat diselesaikan tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini
bertujuan untuk mengetahui
Penulis mengucapkan terima kasih kepada dosen
mata kuliah Filsafat
Ilmu yang telah memberikan tugas ini kepada penulis, dan kepada semua pihak
yang telah membantu dalam penyelesaian makalah ini. Penulis juga menyadari bahwa makalah ini
belum sempurna, maka dari itu penulis membutuhkan kritik dan saran yang
membangun untuk perbaikan kedepannya.
Semoga makalah ini dapat
bermanfaat bagi kita semua, khususnya kalangan mahasiswa.
Medan, 11 Januari 2012
Penulis
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ...........................................................................................
i
Daftar Isi ........................................................................................... ii
BAB I Pendahuluan
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................................................... 1
1.2 Rumusan
Masalah ...............................................................................
1
1.3 Tujuan Penulis ..........................................................................................
1
BAB II Pembahasan
2.1 Pengertian Anatomi dan Fisiologi Tumbuhan .......................................... 2
2.1.1 Tumbuhan
..................................................................................... 2
2.1.2 Ciri-ciri
Tumbuhan
...................................................................... 3
2.1.3 Anatomi dan
Fisiologi Tumbuhan
................................................ 3
2.2 Metabolisme Tumbuhan
......................................................................... 14
2.2.1 Proses Pernapasan
Tumbuhan
................................................... 14
2.2.2 Fotosintesis ................................................................................. 19
2.3 Klasifikasi Tumbuhan
.............................................................................. 20
2.3.1 Tumbuhan Tak
Berpembuluh ....................................................
20
2.3.2 Tumbuhan
Berpembuluh
.......................................................... 21
BAB III Penutup
3.1 Kesimpulan .................................................................. 23
Daftar Pustaka .............................................................................. 24
BAB I
PEMBUKAAN
1.1
Latar Belakang Masalah
Sejarah manusia untuk menemukan pengetahuan yang benar,
bergulir melalui proses dialektika, yang memperlihatkan proposisi dan postulat
dengan derajat perbedaan yang sangat beragam, dari yang memperlihatkan
perbedaan secara inkremental, hingga saling bertolak belakang secara diametral.
Para pemikir (rokhaniawan) di era Kebudayaan Yunani kuno,
yang berupaya membangun “pengetahuan yang benar” berdasarkan konsep bios
theoretikhos (dimana pengetahuan itu diyakini akan diperoleh melalui
serangkaian ritus keagamaan), kemudian digantikan oleh konsep ontologi
yang lahir sebagai upaya para filosof Yunani (Kelompok pemikir yang kemudian
bermetamorfosis menjadi madzhab positivisme yang lebih mengutamakan
kekuatan dan kemampuan rasio dan pengamatan. Melalui pengandain-pengandaian
keilmuan yang mengikuti apa yang terdapat dalam ilmu-ilmu alam, kaum
positivisme berupaya menuju pada pemurnian ilmu pengetahuan yang dilakukan
melalui proses kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni), dengan
cara memisahkan secara tegas antara teori dengan praxis (pengetahuan
dengan kepentingan).
1.2
Rumusan Masalah
Adapun rumusan masalah dalam makalah ini adalah :
1.
Bagaimana perkembangan mahzab
positivisme dalam perkembangan ilmu?
2.
Bagaimana
hubungan Ilmu dengan Ontologi, Epistomologi dan Aksiologi?
1.3
Tujuan Makalah
Adapun tujuan makalah ini adalah :
1.
Untuk memenuhi tugas mata kuliah Filsafat Ilmu di semester III.
- Untuk
mengetahui perkembangan mahzab positivisme dan hubungannya dalam bebas
nilai ilmu.
BAB
II
PEMBAHASAN
2.1 Perkembangan Madhzab Positivisme
Puncak
pembersihan pengetahuan dari kepentingan terjadi dengan lahirnya madzhab
positivisme yang dirintis oleh Auguste Comté. Filsafat Comte adalah
filsafat anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan secara
positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala
(fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat kenyataan yang
tidak mempunyai arti faktual sama sekali. “Savoir pour prevoir, prevoir pour
pouvoir” (dari ilmu muncul prediksi, dan dari prediksi muncul aksi),
semboyan inilah yang menjadi pamungkas semakin terpilah dan terpisahnya ilmu
pengetahuan dari nilai, dan kemudian menempatkan positivisme sebagai pemenang
dalam wacana pemikiran modern. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki
gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual
tersebut sehingga ia dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa
depan. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan
konsep-konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran
manusia[1].
Hal
ini sejalan dengan Mach yang menyatakan bahwa pengetahuan yang sahih tentang
kenyataan adalah pengetahuan yang diperoleh dengan cara “menyalin fakta”[2],
dan fakta adalah kenyataan yang dapat diraba atau diindra. Maka prosedur
yang dapat dbenarkan adalah prosedur ilmu-ilmu alam, sebab ilmuilmu alam itu
objektif. Dengan prosedur ini, pengetahun diperoleh dengan melakukan mimesis
fakta.
Madzhab
positivistime, sebagai salah satu aliran filsafat, telah berkembang dalam alur
sejarahnya sendiri. Madzhab pemikiran ini berkembang sebagai bagian dari
upaya untuk menemukan dan membangun pengetahuan yang benar, dengan cara
memurnikan ilmu pengetahuan, yang dilakukan melalui proses kontemplasi
bebas-kepentingan (sikap teoritis murni).
2.2 Hubungan
Mahzab Positivisme dengan Bebas Nilai Ilmu
Positivisme menjadi lokomotif
penggerak sejarah pemikiran barat modern, setelah ambruknya tatanan dunia dan
nilai-nilai masyarakat abad pertengahan. Tawaran baru dari positivisme adalah
tentang metode ilmu pengetahuan, yang sangat menitikberatkan metodologi dalam
refleksi filsafatannya. Bila dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih
direfleksikan, dalam positivistisme pengetahuan diganti metodologi, dan
satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak renaissance,
dan subur pada masa Aufklärung adalah metode ilmu-ilmu alam. Oleh
karena Puncak pembersihan pengetahuan dari kepentingan terjadi dengan lahirnya
madzhab positivisme yang dirintis oleh Auguste Comté. Filsafat Comte
adalah filsafat anti-metafisis. Ia hanya menerima fakta-fakta yang ditemukan
secara positif-ilmiah. Positivisme klasik hanya mengakui tentang gejala-gejala
(fenomen-fenomen), sehingga tidak ada gunanya mencari hakikat kenyataan yang
tidak mempunyai arti faktual sama sekali. “Savoir pour prevoir, prevoir pour
pouvoir” (dari ilmu muncul prediksi, dan dari prediksi muncul aksi),
semboyan inilah yang menjadi pamungkas semakin terpilah dan terpisahnya ilmu
pengetahuan dari nilai, dan kemudian menempatkan positivisme sebagai pemenang
dalam wacana pemikiran modern. Oleh karena itu, manusia harus menyelidiki
gejala-gejala dan hubungan-hubungan antara fenomena-fenomena fisik-faktual
tersebut sehingga ia dapat memproyeksikan tentang apa yang akan terjadi di masa
depan. Hubungan-hubungan antara gejala-gejala itu disebut oleh Comte dengan
konsep-konsep atau hukum-hukum positif yang dapat dipersepsi oleh akal pikiran
manusia[3].
Positivisme menjadi lokomotif penggerak sejarah pemikiran
barat modern, setelah ambruknya tatanan dunia dan nilai-nilai masyarakat abad
pertengahan. Tawaran baru dari positivisme adalah tentang metode ilmu
pengetahuan, yang sangat menitikberatkan metodologi dalam refleksi
filsafatannya. Bila dalam empirisme dan rasionalisme pengetahuan masih
direfleksikan, dalam positivistisme pengetahuan diganti metodologi, dan
satu-satunya metodologi yang berkembang secara meyakinkan sejak renaissance,
dan subur pada masa Aufklärung adalah metode ilmu-ilmu alam. Oleh
karena itu, positivisme menempatkan metodologi ilmu-ilmu alam pada ruang yang
dulunya menjadi refleksi epistemologi, yaitu pengetahuan manusia tentang
kenyataan.
Madzhab positivisme, dibangun dengan (salah satu) asumsi
bahwa, pengetahuan haruslah bebas nilai. Hal ini diperlukan, agar para ilmuwan
dapat memperoleh teori murni. Bila ilmu-ilmu sosial mau berlaku sebagai ilmu
pengetahuan, maka ia harus menghasilkan hukum-hukum umum, dan prediksi-prediksi
ilmiah seperti dalam ilmu-ilmu alam. Untuk mencapai tujuan itu, riset
sosial harus menghasilkan deskripsi dan eksplanasi ilmiah yang tidak memihak,
serta tidak memberi penilaian apa pun. Oleh karena itu, dalam mendekati
objek yang diteliti, ilmuwan sosial harus mampu melepaskan perasaan, harapan,
keinginan, anggapan, penilaian moralnya, sehingga ia memperoleh pengetahuan
objektif tentang kenyataan sosial atau “fakta sosial”.
Klaim adanya kebebasan nilai dalam ilmu pengetahuan
sebagaimana ditawarkan para pendukung madzhab positivisme tersebut, di tahap
akhir perkembangaannya ternyata telah menyebabkan terjadinya krisis, tidak saja
krisis dalam pengetahuan, akan tetapi juga krisis dalam masyarakat[4].
Sejalan dengan itu, kritik-kritik dari berbagai aliran
pemikiran lain pun mulai muncul dan berkembang, baik yang ditujukan untuk
memperbaiki kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam pemikiran positivisme,
maupun yang bermaksud menggantikannya dengan alternatif lain. Salah satu
aliran yang banyak melakukan kritik adalah para pemikir yang tergabung dalam
madzhab Frankfurt (Atau dikenal juga dengan istilah Marxisme kritis atau
Neo-Marxisme)[5].
Meskipun terdapat perbedaan pandangan diantara para pendukung madzhab Frankrut,
di dalam mengembangkan teori kritis ini, akan tetapi mereka semua pada dasarnya
memiliki tujuan yang sama, yaitu berupaya mengaitkan rasio dan kehendak, riset
dan nilai, pengetahuan dan kehidupan, teori dan praxis
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Bebas nilai merupakan salah satu tema yang terus
diperdebatkan dalam filsafat ilmu. Bila diawal perkembangannya, terdapat
hubungan yang erat antara teori dan praxis (mempertautkan pengetahuan
dan kepentingan), paham ini kemudian secara perlahan mulai tergeser, dengan
munculnya kajian-kajian dari perspektif filsafat yang mendasarkan dirinya pada
rasionalitas dan empirisme.
Madzhab positvistik yang dipandang sebagai motor penggerak
gerakan baru ini, berupaya membangun pemurnian ilmu pengetahuan melalui proses
kontemplasi bebas-kepentingan (sikap teoritis murni), dengan cara memisahkan
secara tegas antara teori dengan praxis (pengetahuan dengan
kepentingan).
Perkembangan madzhab positivisme ini, pada akhirnya tidak
dapat secara terus menerus mempertahankan hegemoninya. Gugatan-gugatan terhadap
eksistensi madzhab positivisme pun mulai terdengar dari para pemikir yang
berasal madzhab Frankfurt (yang kemudian lebih dikenal sebagai pemikiran dari
aliran ilmu-ilmu kritis/ teori kritis) yang mengehendaki agar teori tidak
dipisahkan dari praxis sehari-hari
Daftar Pustaka
A.
Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat, Jakarta: Pustaka Alhusna, 1981
F.
Budiman Hardiman, Kritik Ideologi : Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan
Kepentingan Bersama Jürgen Habermas, Jakarta:
Pustaka Utama, 1998
Harry Hamersma, Tokoh-tokoh Filsafat Barat
Modern, Jakarta: Gramedia, 1992
Louis
O. Kattsoff, Pengantar Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono,
Yogyakarta: Tiara Wacana, 1996
[1] Harry Hamersma, Tokoh-tokoh
Filsafat Barat Modern, Jakarta: Gramedia, 1992, hal. 54-55.
[2] F. Budiman Hardiman, Kritik
Ideologi : Menyingkap Pertautan Pengetahuan dan Kepentingan Bersama Jürgen
Habermas, hal. 142.
[4] A. Hanafi, Ikhtisar Sejarah Filsafat Barat,
hal. 65
[5]Louis O. Kattsoff, Pengantar
Filsafat, alih bahasa Soejono Soemargono, hal. 116